Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
El Mariachi adalah sebuah film laga Amerika Serikat[2] tahun 1992 yang menandai debut penulis dan sutradara Robert Rodriguez. Film ini membentuk bagian pertama di Trilogi Meksiko karya Rodriguez, diikuti dengan Desperado (1995) dan Once Upon a Time in Mexico (2003). Film berbahasa Spanyol direkam dengan pemain amatir di kota perbatasan Meksiko utara Ciudad Acuña, kota asal dari aktor terkemuka Carlos Gallardo.
Rodrigo (atau Ruy) Díaz de Vivar (lahir di Vivar (Burgos) tahun 1044 M - meninggal di Valencia, 10 Juli 1099), dikenal juga sebagai El Cid Campeador, adalah salah seorang bangsawan Castile, lalu menjadi pemimpin politik dan pemimpin perang yang menaklukkan Valencia dan kemudian menjadi pemimpin kota tersebut. Rodrigo Díaz dididik di sebuah istana di Castile, dan kemudian menjadi alférez, atau jendral, dari Alfonso VI, yang pada kala itu sedang memerangi orang-orang Muslim pada awal-awal Reconquista di Spanyol. El Cid kemudian dikucilkan oleh Raja Alfonso VI, dan kemudian meninggalkan Castile untuk menjadi seorang prajurit bayaran (mercenary), baik untuk kaum Muslim untuk kaum Kristen.
Sebutan "El Cid" diturunkan dari kata "al-sīd", dalam dialek Arab Andalusia (berasal dari Bahasa Arab sayyid, yang berarti "ketua" atau "pemimpin", atau sebuah julukan bagi orang yang terhormat), sementara "Campeador" (berarti "sang Juara" atau "Penakluk") diberikan oleh para pengagumnya dari orang-orang Kristen, yang diturunkan dari bahasa Latin campi doctor. Julukan-julukan tersebut mencerminkan pengaruh El Cid yang sangat besar, baik untuk para Muslim maupun Kristen di Spanyol, dan juga menunjukkan kemampuannya dalam bertarung; Henry Edwards Watts menulis bahwa El Campeador "means in Spanish something more special than champion... A campeador was a man who had fought and beaten the select fighting-man of the opposite side in the presence of the two armies." (El Campeador dalam Bahasa Spanyol berarti sesuatu yang lebih khusus dibandingkan dengan 'sang juara' saja... Seorang campeador merupakan seorang yang telah bertarung dan mengalahkan petarung terpilih yang datang dari pihak musuh saat ada dua kubu yang sedang bertarung.)
"El Cid" dibaca [ɛlˈtsið] dalam bahasa Spanyol Abad Pertengahan, dan [ɛlˈθið] dalam bahasa Spanyol Castile modern.
Tanggal kapan El Cid dilahirkan masih belum diketahui, akan tetapi, sebagian besar sejarahwan percaya bahwa El Cid dilahirkan pada tahun 1040, di Vivar (Bivar), sebuah kota kecil yang terletak sekitar enam mil utara Burgos, yang pada saat itu menjadi ibu kota Kerajaan Castile. Catatan-catatan sejarah menyebutkan bahwa ayah El Cid adalah Diego Laínez, yang merupakan bagian dari bangsawan yang ada di Castile (disebut sebagai infanzone.) Diego Laínez merupakan seorang hakim minor (courtier), birokrat, dan prajurit penunggang kuda (kavaleri) yang telah bertarung di dalam beberapa peperangan. Meskipun fakta menyebutkan bahwa ibu El Cid adalah seorang aristokrat, pada tahun-tahun setelah kelahirannya, para petani menganggapnya sebagai anak petani. Meskipun demikian, para kerabatnya bukanlah para pejabat tinggi kehakiman: dokumen yang menunjukkan kakek El Cid dari pihak ayah, Lain Calvo, hanya mengonfirmasikan lima dokumen tentang hubungannya dengan Ferdinand I dari León; kakek dari pihak ibu, Rodrigo Alvarez, hanya dua dokumen yang menunjukkan kedekatannya dengan Raja Sancho II dari Castile; dan bahkan ayah El Cid sendiri hanya menyebutkan satu dokumen saja. Hal ini menyebutkan bahwa keluarga El Cid tidaklah terdiri atas para pejabat tinggi kehakiman.
Bavieca merupakan kuda perang yang ditunggangi oleh El Cid pada Abad 11. Ada beberapa legenda yang muncul tentang hubungan El Cid dengan Bavieca.
Salah satu legenda yang telah umum diketahui mengenai El Cid menjelaskan bagaimana ia dapat memperoleh kuda perangnya yang terkenal, kuda putih Babieca (Bavieca). Menurut legenda ini, wali pengasuh Rodrigo, Pedro El Grande, merupakan seorang pendeta di biara Carthusian. Hadiah masa tua Pedro kepada El Cid adalah pemilihan seekor kuda dari sebuah ternak kuda Andalusia. El Cid memilih seekor kuda yang dipandang oleh Pedro sebagai seekor kuda yang lemah, dan sedikit marah akibat pilihan El Cid yang buruk, sehingga pendeta tersebut berteriak "Babieca!" (yang artinya Bodoh!). Sejak saat itu, nama kuda perang tersebut menjadi Babieca.
Legenda salanjutnya adalah bahwa saat melakukan duel untuk menjadi Campeador Raja Sancho II dari Castile, seorang ksatria yang menunggangi kuda hendak menantang El Cid. Raja pun menghendaki pertarungan yang seimbang dengan ksatria tersebut dan memberikan kuda terbaiknya, Bavieca atau Babieca. Legenda ini mengatakan bahwa Bavieca dibesarkan di istal di Sevilla, Spanyol dan sangat terlatih dan juga sangat setia, bukanna seekor kuda yang bodoh seperti legenda pertama. Nama kuda dalam legenda ini dapat mungkin diambil dari sebuah daerah bernama Babia yang terletak di León, Spanyol.
Legenda apapun yang dipercaya, Bavieca telah menjadi seekor kuda perang yang hebat, ditakuti oleh musuh-musuh El Cid, disegani oleh para umat Kristen, dan tentu saja dicintai oleh El Cid, yang mengusulkan bahwa Bavieca nanti akan dikubur di samping dirinya di biara di San Pedro de Cardeña (meskipun tidak terjadi). Namanya disebutkan di dalam beberapa dongeng dan dokumen sejarah mengenai El Cid, termasuk "Cantar de Mío Cid" ("Song of the Cid"). Beberapa dokumen mengatakan bahwa setelah kematian El Cid dalam peperangan, Bavieca tidak pernah ditunggangi lagi dan kemudian mati dua tahun setelahnya pada usia 40 tahun.
El Cid dididik di pengadilan tinggi Castile, dan menjadi pelayan bagi Pangeran Sancho II yang kemudian menjadi raja, putra dari Raja Ferdinand I yang Agung. Saat Ferdinand meninggal pada tahun 1065, Sancho II melanjutkan cita-cita ayahnya memperluas daerah kekuasaannya, dengan menaklukkan daerah Kristen di Zamora dan kota Moor Badajoz.
Pada saat itu, El Cid telah menjadi dewasa. Pada tahun 1067, ia telah bertarung di sisi Sancho menghadapi benteng Muslim di Zaragoza, sehingga menjadikan pemimpin (emir) di sana, Ahmad al-Muqtadir, diperbudak oleh Sancho. Pada musim semi 1063, ia juga mengikuti peperangan di Peperangan Graus, di mana saudara jauh Ferdinand, Ramiro I dari Aragon, telah mengepung sebuah kota yang diduduki oleh kaum Moor, Graus, yang juga merupakan tanah milik kerajaan Zaragoza. Al-Muqtadir, yang ditemani oleh prajurit Castile, termasuk di antaranya adalah El Cid, malahan bertarung dengan para orang-orang Aragon yang dipimpin oleh Ramiro. Peperangan tersebut dimenangkan oleh pihak El Cid, karena Ramiro I tewas terbunuh, dan orang-orang Aragon kabur dari peperangan. Salah satu legenda mengatakan bahwa selama pertarungan, El Cid membunuh seorang kesatria Aragon dalam sebuah pertarungan saja, dan akhirnya memiliki gelar yang sangat terhormat, "El Cid Campeador."
Kematian Sancho memunculkan banyak spekulasi. Sebagian besar spekulasi tersebut mengatakan bahwa pembunuhan tersebut merupakan hasil dari sebuah kesepakatan antara Alfonso yang merupakan saudaranya dengan saudara perempuannya, Urraca dari Zamora; bahkan beberapa spekulasi mengatakan bahwa antara Urraca dan Alfonso memiliki hubungan intim sedarah (incest). Bagaimanapun juga, karena Sancho mati sebelum menikah dan tidak memiliki anak, maka semua kekuasaannya pindah tangan menjadi milik saudaranya, Alfonso, orang yang sebelumnya bertarung dengannya, dan dikucilkan.
Alfonso pun dipanggil dari pengucilan di Toledo dan menaiki singgasana sebagai raja Leon dan Castile, dengan sangat cepat. Meski ia merupakan pihak yang dicurigai sebagai penyebab kematian Sancho (mungkin benar), menurut cerita epik El Cid the Castilian nobility, Alfonso dipaksa oleh El Cid dan selusin "oath-helpers" untuk berjanji di depan publik yang berada di depan Gereja Santa Gadea (Saint Agatha) di Burgos di atas sebuah relik (barang keramat) beberapa kali bahwa ia tidak berpartisipasi dalam rencana untuk membunuh saudaranya. Informasi ini dilaporkan sebagai sebuah kebenaran, tapi dokumen kontemporer mengenai kehidupan Alfonso VI dari Castile dan Leon dan Rodrigo Diaz tidak menyebutkan kejadian tersebut. Legenda tersebut dipercayai karena legenda ini menambah "jiwa keberanian" pada sosok El Cid. Akan tetapi, posisi El Cid sebagai armiger regis dicabut oleh Alfonso, dan diberikan kepada musuh El Cid, Count García Ordóñez. Beberapa saat kemudian dalam tahun yang sama, adik Alfonso, Garcia, kembali ke Galicia dengan berpura-pura akan mengadakan konferensi.
Selama masa jabatannya, El Cid sering menyuruh para prajuritnya dan juga dirinya sendiri untuk membaca buku-buku klasik buatan para pengarang Roma dan Yunani dengan suara keras, sebagai hiburan dan juga inspirasi selama pertempuran berlangsung. Pasukan El Cid juga melakukan sesi brainstorming terlebih dahulu untuk mendiskusikan masalah taktik peperangan sebelum mereka turun ke medan perang. Mereka sering menggunakan strategi yang tidak diduga-duga sebelumnya, dengan melakukan apa yang oleh para Jendral modern menyebutnya sebagai perang psikologis (psychological warfare); menunggu para musuh panik dengan ketakutan lalu langsung diserang secara tiba-tiba, memecah belah persatuan pasukan musuh dengan memancing segerombolan kecil dari pasukan musuh, dan lain-lain. Ia pun bersifat terbuka, sehingga menerima saran-saran dari para anggota pasukannya, bahkan ia sendiri mengatakan bahwa ia tidak lepas dari kesalahan. Orang yang melayaninya sebagai penasehat terdekatnya adalah sepupunya, Alvar Fáñez de Minaya.
El Cid menikah dengan Jimena dari Oviedo (dibaca Ximena dalam Bahasa Spanyol Kuno) pada bulan Juli 1074. Pernikahan tersebut mungkin atas saran dari Alfonso, sebuah pergerakan yang mungkin akan meningkatkan hubungan antara dirinya dengan El Cid, mengingat Ximena merupakan "anak asuh" dari Alfonso. El Cid dan Jimena memiliki tiga orang anak. Anak-anak perempuannya, Cristina dan María keduanya menikahi para bangsawan; Cristina menikahi Ramiro, seorang Lord dari Monzón (anak dari Sancho Garces), sementara María menikah dengan seorang pangeran Aragon, lalu menikah dengan Ramón Berenguer III, count dari Barcelona. Sementara itu, putra El Cid, Diego Rodríguez, terbunuh saat bertarung dengan para pasukan Muslim Al-Murabithah (Almoravid) dari Afrika Utara pada peperangan Consuegra (terjadi pada tahun 1097).
Pernikahan dirinya dan para putrinya meningkatkan statusnya sehingga menghubungkan dirinya dengan para bangsawan; bahkan hingga hari ini, banyak raja-raja monarki memiliki hubungan darah dari El Cid, melalui jalur Navarre dan Foix. El Cid merupakan leluhur dari banyak raja monarki di Prancis dan Inggris Raya, dan juga beberapa monarki lainnya di Eropa, melalui anak Cristina, García VI of Navarre.
This historical drama follows the reign of Razia Sultan, the daughter of Sultan Iltutmish and Qutub Begum. Things take a turn when Sultan Iltutmish appoints Razia as his heir apparent, making her the first Muslim woman to be appointed a successor - the first Empress of Delhi! Razia proves her worth to the people by being brave and dedicated like her father, as well as caring and compassionate, thereby earning the respect of all. The show depicts her trials and tribulations as an empress.
penghapusan Kesultanan Palembang Darussalam oleh kolonialisme Belanda pada tahun 1823, Kebudayaan, Kebiasaan orang-orang Palembang mengalami kemunduran. Ahli waris, keturunan dan keturunan Kesultanan Palembang Darussalam menyadari untuk memelihara dan melestarikan dan mengembangkan tradisi dan budaya Palembang Darussalam.
Setelah hampir dua abad tenggelam, beberapa orang Palembang menyadari perlunya menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam, yang meninggalkan banyak kekayaan seni, budaya dan ilmiah di Sumatera Selatan dan Kepulauan.
Tetapi Kesultanan Palembang Darussalam tidak seperti di masa lalu. Kesultanan Palembang sekarang hanyalah simbol dari kebiasaan budaya dan sosial masyarakat Palembang dan Sumatera Selatan, sehingga mereka tidak buta terhadap sejarah dan menghargai apa yang leluhur mereka lakukan untuk bangsa dan negara ini. Untuk alasan ini, perlu untuk menyediakan tokoh penjaga yang bertanggung jawab dan inovatif untuk menghidupkan kembali budaya dan adat Palembang Darussalam.
Beranjak dari kesadaran itu pada 18 November 2006, zuriat / keturunan sepuluh sultan yang memerintah di Palembang bersama dengan zuriat Melayu di Sumatra Selatan mengadakan perjanjian konsensus yang akhirnya mendirikan IR.H. R. Mahmud Badaruddin Sebagai Sultan Palembang dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dan dipasang serta dimahkotai di halaman Benteng Kuto Besak pada 19 November 2006.
Namun jauh sebelum dikukuhkan sebagai Sultan Palembang, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dipercaya menjadi Ketua Asosiasi Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam dan dilantik pada 4 September 2005 di halaman Benteng Kuto Besak. Dimana dalam salah satu visi yang disyaratkan adalah untuk menyatukan kembali keturunan / zuriat para Raja atau Sultan yang telah memerintah Palembang yang tersebar di seluruh nusantara.
Dalam melaksanakan mandat tersebut, beberapa agenda pekerjaan sosial dan budaya telah dilakukan oleh Sultan Iskandar mahmud Badaruddin, seperti memperbaiki makam Kesultanan Palembang Darussalam, memberikan penghargaan kepada masyarakat Palembang dan Sumatera Selatan yang unggul serta melacak, mengumpulkan dan memverifikasi bukti sejarah dari Kesultanan Palembang Darussalam.
1.Ketua Umum Yayasan Sultan Raja Nusantara (YARASUTRA)
2.Ketua Asosiasi Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam
3.Dewan Adat Yayasan Melayu Nusantara
4.Dewan Penasehat MUI Provinsi Sumatera Selatan
Berdasarkan garis keturunan Sultan Palembang, Sultan Darussalam. Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin adalah keturunan dari Tiga Sultan yang telah memerintah Palembang. Pertama dari Pendiri Istana Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan / Susuhunan Abdulrahman Kahalifatul Mukminin Sayidul Imam, yang kedua Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, Sultan ini memiliki Pangeran Mahkota Pangeran Purboyo yang terbunuh dizholimi diracun pada subuh sehari sebelum penobatannya.Setelah tujuh keturunannya, ALLAH menentukan Zuriat untuk menjadi Sultan. Ketiga, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin juga memiliki garis keturunan dari Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, saudara laki-laki lain dari putra Sultan Muhammad Mansyur Jayo Jay, di mana Raden Lumbu Pangeran Nato Dirajo Bin Pangeran ratu purboyo Bin Sultan Sultan Muhammad Mansour jayo ing lago menikah dengan Sultan Putra Mahmud Badaruddin, Jayo Wikramo.
Peresmian Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang telah disetujui oleh pakar Kesultanan Palembang Darussalam, Yaitu Let.Kol. (Purnawirawan) ALRMYusuf Prabu Tenaya yang merupakan Zuriat dari Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu Bin Sultan Mahmud Badaruddin II dan dari Kesultanan Sultan terakhir RMSyarifuddin Prabu Anom dari Sultan Zuriat terakhir Sultan Najamuddin Prabu Anom Sultan yang diasingkan oleh orang Belanda terakhir ke Menado Tua dan sampai sekarang makam Sultan belum ditemukan.
https://lampukuning.id/sultan-iskandar-mahmud-badaruddin/
https://keratonpalembang.blogspot.com
Sultan Hasanuddin (Dijuluki Ayam Jantan dari Timur oleh Belanda) (12 Januari 1631 – 12 Juni 1670) adalah Sultan Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Setelah menaiki takhta, ia digelar Sultan Hasanuddin, setelah meninggal ia digelar Tumenanga Ri Balla Pangkana. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.[1]
Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Muhammad Said Daeng Mattola, Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga ri Papang Batunna dan ibunya bernama I Sabbe Lokmo Daeng Takontu. Sultan Hasanuddin memerintah Kesultanan Gowa mulai tahun 1653 sampai 1669. Kesultanan Gowa adalah merupakan kesultanan besar di Wilayah Timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar pada 12 Januari 1631. Dia lahir dari pasangan Sultan Malikussaid, Sultan Gowa ke-XV, dengan I Sabbe Lokmo Daeng Takuntu. Jiwa kepemimpinannya sudah menonjol sejak kecil. Selain dikenal sebagai sosok yang cerdas, dia juga pandai berdagang. Karena itulah dia memiliki jaringan dagang yang bagus hingga Makassar, bahkan dengan orang asing.
Hasanuddin kecil mendapat pendidikan keagamaan di Masjid Bontoala. Sejak kecil ia sering diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting, dengan harapan dia bisa menyerap ilmu diplomasi dan strategi perang. Beberapa kali dia dipercaya menjadi delegasi untuk mengirimkan pesan ke berbagai kerjaan.
Saat memasuki usia 21 tahun, Hasanuddin diamanatkan jabatan urusan pertahanan Gowa. Ada dua versi sejarah yang menjelaskan kapan dia diangkat menjadi raja, yaitu saat berusia 24 tahun atau pada 1655 atau saat dia berusia 22 tahun atau pada 1653. Terlepas dari perbedaan tahun, Sultan Malikussaid telah berwasiat supaya kerajaannya diteruskan oleh Hasanuddin.
Selain dari ayahnya, dia memperoleh bimbingan mengenai pemerintahan melalui Mangkubumi Kesultanan Gowa, Karaeng Pattingaloang. Sultan Hasanuddin merupakan guru dari Arung Palakka, salah satu Sultan Bone yang kelak akan berkongsi dengan Belanda untuk menjatuhkan Kesultanan Gowa.
Pada pertengahan abad ke-17, Kompeni Belanda (VOC) berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku setelah berhasil mengadakan perhitungan dengan orang-orang Spanyol dan Portugis. Kompeni Belanda memaksa orang-orang negeri menjual dengan harga yang ditetapkan oleh mereka, selain itu Kompeni menyuruh tebang pohon pala dan cengkih di beberapa tempat, supaya rempah-rempah jangan terlalu banyak. Maka Sultan Hasanuddin menolak keras kehendak itu, sebab yang demikian adalah bertentangan dengan kehendak Allah katanya. Untuk itu Sultan Hasanuddin pernah mengucapkan kepada Kompeni "marilah berniaga bersama-sama, mengadu untuk dengan serba kegiatan". Tetapi Kompeni tidak mau, sebab dia telah melihat besarnya keuntungan di negeri ini, sedang Sultan Hasanuddin memandang bahwa cara yang demikian itu adalah kezaliman.
Pada tahun 1660, VOC Belanda menyerang Makassar, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Tahun 1667, VOC Belanda di bawah pimpinan Cornelis Speelman beserta sekutunya kembali menyerang Makassar. Pertempuran berlangsung di mana-mana, hingga pada akhirnya Kesultanan Gowa terdesak dan makin lemah, sehingga dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya. Gowa yang merasa dirugikan, mengadakan perlawanan lagi. Pertempuran kembali pecah pada Tahun 1669. Kompeni berhasil menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 24 Juni 1669. Sultan Hasanuddin wafat pada tanggal 12 Juni 1670 karena penyakit ari-ari.
Sewaktu lahir nama beliau diberi nama Muhammad Baqir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape, pemberi nama ini oleh Qadi Kesultanan Gowa yang juga adalah kakak iparnya sendiri (suami dari sepupu) yaitu Alhabib Syaikh Alwi Jalaluddin Bafagih (keturunan Imam Maula Aidid diHadramaut yang adalah Keturunan Nabi), kemudian ketika menjabat sebagai Sultan maka beliau mendapat gelar Sultan Hasanuddin. Namanya kini diabadikan untuk Universitas Hasanuddin, Kodam XIV/Hasanuddin dan Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin di Makassar, KRI Sultan Hasanuddin dan Jl. Sultan Hasanuddin di berbagai kota di Indonesia.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anak Sultan sebuah program Acara realitas yang pernah di tayangkan Trans7. Menceritakan kehidupan keluarga selebriti Raffi Ahmad, Nagita Slavina dan Rafathar serta Rayyanza Malik Ahmad
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ir. H Raden Mahmud Badaruddin atau Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, merupakan Sultan Kesultanan Palembang Darussalam yang dilantik pada tanggal 4 September 2005 setelah memperoleh mandat dari Let. Kol. (Purn) A.L.R.M. Yusuf Prabu Tenaya yang merupakan ahli nasab Kesultanan Palembang Darussalam di halaman Benteng Kuto Besak. Pada tanggal 18 November 2006, para zuriat (keturunan) sepuluh sultan yang pernah berkuasa di Palembang beserta zuriat Melayu di Sumatera Selatan memainkan musyawarah yang yang belakang sekalinya mengukuhkan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Pelantikan dia dimainkan pada tanggal 19 Desember 2006 di halaman Dalam Benteng Kuto Besak [1].
Gagasan penobatan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang Darussalam didasari atas silsilah Sultan Palembang Darussalam. Raden Iskandar Mahmud Badaruddin yaitu keturunan dari dua sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago dan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo yang nasabnya sampai ke Sunan Giri.[2]
Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin lahir dari pasangan Raden H. Muhammad Harun dan Hj. Nyayu Rogayah di Kota Palembang, Sumatra Selatan, masa kecil beliau dihabiskan untuk mengamen di cafe-cafe yang berada di Kota Palembang untuk membiayai kuliah beliau, beliau melakukan hal tersebut diakibatkan karena hancurnya bisnis bapak beliau akibat terlalu jujur dalam mengelola bisnisnya.
Namun, karena kesungguhan beliau untuk sukses dan doa kedua orang tua beliau, akhirnya beberapa tahun setelah beliau lulus kuliah, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin berhasil mendirikan perusahaan beliau sendiri dan menjadi direktur utama dari tiga perusahaan beliau yang bernama PT. Kelantan Sakti, PT. Adi Pratama, dan PT. Gerindro Utama Mandiri. Selain itu, beliau juga didaulat menjadi komisaris di PT Mercury Pratama, sedangkan istri beliau, Ratu Anita Soviah membuka perusahaan butik pakaian hasil rancangan beliau sendiri dan butik tersebut sangat digemari masyarakat Palembang.
Selain memimpin perusahaan, dalam keseharian Sultan disibukkan dengan menjadi narasumber seminar, mulai pendidikan, membedah buku, hingga mengupas sejarah Kerajaan Palembang Darussalam. Dia juga rajin berkunjung ke daerah dalam upaya meningkatkan ekonomi para petani.[3]
Razia Sultan adalah serial drama sejarah India yang ditayangkan di &TV mulai 6 Maret 2015.[1] Pemeran utamanya permaisuri Razia Sultana di perankan oleh Pankhuri Awasthy Rode. Serial ini bercerita tentang Razia Sultan (Sultan Razia), satu-satunya penguasa wanita di Kesultanan Delhi. Ini berbicara tentang seorang wanita muda dan dilemanya dalam kehidupan sehari-hari. Serial ini diperkenalkan oleh Shah Rukh Khan sebagai Sutradhar.[2] Lagu berjudul Mere Maula dari serial tersebut dinyanyikan oleh Supriya Joshi.
Pertunjukan ini berfokus pada kehidupan Razia Sultan. Dia diangkat menjadi penguasa oleh Sultan Iltutmish sendiri. Meski memiliki banyak putra, ia merasa Razia akan menjadi penguasa yang lebih cakap. Pertunjukan tersebut kemudian berfokus pada perjuangan dan dilema India dan Razia pada abad ke-13 sebagai seorang Sultan, dan sebagai seorang wanita dalam kehidupan sehari-hari.
Shahzaadi Razia berencana memberikan ayahnya, Sultan Altamash (Iltutmish) pengingat masa lalunya sebagai hadiah untuk Idul Fitri. Dia mengunjungi majikan lama Sultan, Nizam, di mana dia bertemu dengan budak Nizam, Fatima. Nizam meninggal sebelum dia bisa membebaskan Fatima dari perbudakannya, itulah sebabnya Fatima harus dikuburkan bersamanya. Razia menyelamatkan Fatima dan Fatima menjadi penolong barunya.
Shah Turkan, pelacur Sultan Altamash dari Lahore, terlihat datang merayakan Idul Fitri bersama Sultan bersama putra mereka, Rukn Uddin Firoz. Shah Turkan adalah seorang wanita manipulatif yang ingin melihat putranya sebagai Sultan-e-Hind, pewaris takhta, dan tidak akan berhenti melakukan apa pun. Rukn Uddin adalah anak nakal sombong yang suka mempermalukan dan menyiksa orang semaunya. Razia bentrok dengan Rukn Uddin di pasar umum, sehingga menimbulkan permusuhan di antara mereka.
Perayaan Idul Fitri telah dimulai. Keduanya, Qutb Begum (istri Sultan dan Razia, Shazia dan ibu Naasir) dan Shah Turkan bersaing untuk mendapatkan perhatian Sultan, karena orang yang akan menghabiskan Idul Fitri bersama Sultan memiliki hak pertama pada Idul Fitri, hadiah yang diberikan Sultan kepada keluarganya. Qutb Begum meminta Razia meminta Sultan untuk menghabiskan Idul Fitri bersama mereka, tapi Razia malah meminta nyawa Fatima, yang membuat Qutub Begum dan Shamshad Begum (ibu Qutub Begum, istri mantan Sultan Qutub Uddin Aibak) kecewa.
Mereka ingin meminta Subedaari (pengurus militer dan politik suatu wilayah, batu loncatan untuk menjadi pewaris takhta Sultan) Delhi diberikan kepada Shehzaadah Naasir, Putra pertama Sultan dengan Qutb Begum sebagai dia yang paling pantas. Namun Sultan memutuskan untuk menghabiskan Idul Fitri bersama Shah Turkan, memberinya kesempatan untuk meminta Subbedaari Rukn Uddin sebagai Eidi. Razia menggagalkan rencana Shah Turkan saat dia mengundang Raja Ghazni, Taj Al-din Sultan Yaldoz, teman Sultan dan guru Naasir ke Delhi untuk merayakan Idul Fitri. Sultan Altamash kini terpaksa menghabiskan Idul Fitri bersama keluarga Kerajaannya, menyenangkan ibu Razia.
Qutb Begum dan Shah Turkan sama-sama meminta Subbedaari Delhi untuk putra mereka masing-masing secara bersamaan saat perayaan Idul Fitri, yang ditanggapi Sultan dengan mengadakan kompetisi bagi semua orang yang mampu memperjuangkan Subbedaari, memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang. Qutb Begum tidak punya keraguan tapi Shah Turkan takut Rukn Uddin akan kalah.
Di tempat lain, seorang pria bernama Mirza Altunia (Malik Ikhtyaar Uddin Altunia), terlihat berkeliaran tanpa beban di sekitar Delhi bersama temannya, Zaaroon. Dia seorang pemuda filosofis, riang dan terlalu percaya diri yang mencari cara untuk menghibur dirinya sendiri. Dia pergi ke Dargah untuk mendapatkan parfum favoritnya, dimana Razia juga datang untuk mendoakan kesuksesan kakaknya dalam kompetisi tersebut. Doanya terucap dan saputangan wangi jatuh ke tangan Mirza, yang menyimpannya karena ada parfumnya di atasnya. Dia mendengar tentang kompetisi tersebut dan memutuskan untuk mengambil bagian di dalamnya juga.
Shah Turkan menyabotase peralatan berkuda Naasir, yang menyebabkan dia terjatuh selama pertarungan, menyebabkan kekalahannya, yang membuat keluarga Kerajaan kecewa. Rukn Uddin adalah satu-satunya yang tersisa dalam kompetisi tersebut. Tepat sebelum dia dinyatakan sebagai pemenang, Mirza terlibat dan mengalahkannya, menjadi Subbedaar Delhi. Dia tidak berhenti untuk mengklaim hadiahnya dan terbukti telah kembali ke tempat asalnya. Hal tersebut dilakukannya karena ia menyadari bahwa Rukn Uddin tidak layak menjadi Subbedaar dan telah berbuat curang selama kompetisi. Sementara itu, Razia merayakan kenyataan bahwa Rukn Uddin tidak akan menjadi Subbedaar dan Naasir masih memiliki peluang.
Mirza terbukti menjadi budak pemilik tambang dan pemalsuan, yang kuda dan baju besinya dicuri Mizra untuk pertarungan tersebut. Pemiliknya ditampilkan sebagai orang yang tidak adil dan kejam, yang membunuh budak lain hanya karena dia mencuri makanan. Mirza melihat ini dan menjadi marah, dan membunuh tuannya dalam kemarahan, yang dianggap sebagai dosa besar di Delhi. Dia melarikan diri dari tempat kejadian bersama Zaaroon dan memutuskan untuk meninggalkan Delhi.
Shah Turkan secara tidak sengaja memberi isyarat kepada Razia bahwa dia menyabotase peralatan berkuda Naasir, yang mengakibatkan kekalahannya. Razia memutuskan untuk mencari tahu dengan mencari pelana yang rusak. Tapi Shah Turkan dan Rukn Uddin mendahuluinya dan menyebabkan kesalahpahaman antara Sultan dan Naasir. Naasir, dalam kemarahan, meninggalkan istana menuju Multan, kerajaan pamannya, bersama ibu dan neneknya. Razia memutuskan untuk tetap tinggal dan meyakinkan ayahnya untuk memaafkan Naasir. Kemudian dia memutuskan untuk pergi ke Multan untuk meyakinkan kakaknya agar kembali. Rana Maartand, ajudan Sultan dan komandan militer terpercaya menemaninya. Sementara itu, Shah Turkan bersekongkol untuk mengirim anak buahnya ke dalam barisan pengawal Razia. Ketika Razia tiba di Multan, semua prajurit kecuali Rana Maartand bertempur dengan Naasir, menyebabkan dia percaya bahwa Sultan menginginkan perang. Dia membunuh Rana Martand dalam pertarungan yang terjadi karena kesalahpahaman. Mayat Rana Martand dan tentara lainnya dikirim ke Sultan, membuatnya percaya bahwa Naasir menginginkan perang. Kedua belah pihak sudah mulai mempersiapkan perang, namun Razia ingin menghentikannya dengan cara apa pun. Dia memutuskan untuk pergi ke Ghazni sendirian untuk mencari bantuan Sultan Yaldoz karena dia adalah teman Sultan dan mentor Naasir. Dia bersiap untuk pergi bersama pelayannya, Chanda, sementara Fatima tetap di belakang untuk terus memberi tahu Razia dan mencoba mengendalikan situasi. Keluarganya di Multan yakin bahwa Razia telah berangkat ke Delhi, sedangkan Sultan yakin dia masih berada di Multan.
Mirza berencana berangkat ke Ghazni dan memutuskan untuk bertemu teman masa kecilnya untuk terakhir kalinya. Dia terbukti menjadi mantan murid Haaji Jamaal, seorang pembunuh yang melatih anak laki-laki untuk membunuh demi uang. Mirza pun mendapat pelatihan ini, membuatnya mahir dalam penggunaan senjata dan peperangan. Tapi Haaji Jamaal menginginkan Mirza dibunuh, karena dia tidak suka Mirza meninggalkan mereka dan tidak menjadi dan membunuh dirinya sendiri, dan Haaji juga takut Mirza akan membocorkan rahasia masyarakatnya kepada orang lain. Haaji menyatakan Mirza sebagai murid terbaiknya, memicu kecemburuan pada 2 muridnya, yang memutuskan untuk membunuh Mirza demi gelar tersebut.
Razia memulai perjalanannya dan dalam perjalanannya menemukan banyak kendala. Dia melihat beberapa gadis muda di dalam sangkar dan laki-laki membawanya ke suatu tempat. Dia memutuskan untuk membebaskan gadis-gadis itu, tetapi dirinya ditangkap dalam prosesnya. Dia kemudian pergi bersama para pria ke Mandi Kabraan, dimana gadis-gadis muda dan perempuan diperjualbelikan untuk menjadi pelacur dan budak. Razia memutuskan untuk membebaskan dirinya dan gadis-gadis lain di sana dari perbudakan ini.