Teori Pragmatisme Adalah

Contoh sikap pragmatisme

Berikut beberapa contoh sikap pragmatisme dalam kehidupan sehari-hari:

Misalnnya, Ali memilih naik bus daripada mobil pribadi karena lebih hemat biaya dan menghindari kemacetan, meski harus berdesak-desakan.

Misalnya, Maya tidak membeli alat masak baru, dan memilih menggunakan panci yang ada meski kurang ideal, karena tetap bisa memasak dengan baik.

Misalnya, ketika mengerjakan tugas, Rudi fokus pada poin-poin penting untuk menyelesaikan tugas lebih cepat, walaupun tidak sempurna, karena tenggat waktu yang mendesak.

Baca juga: 5 Contoh Sikap Menghargai Perbedaan Suku dan Budaya

Misalnya, Tina membeli ponsel dengan fitur standar yang ia butuhkan saja, tidak tertarik pada model terbaru yang lebih mahal, karena yang penting bagi dia adalah bisa menelepon dan menggunakan aplikasi dasar.

Misalnya, Rina menerima pekerjaan dengan gaji lebih besar meski bukan passion-nya, karena ia butuh uang untuk membayar cicilan rumah dan biaya hidup.

Misalnya, daripada mengikuti mode terbaru, Budi lebih memilih pakaian yang nyaman dipakai meskipun modelnya sudah ketinggalan zaman, karena baginya kenyamanan lebih penting.

Baca juga: 23 Contoh Sikap Nasionalisme dalam Keseharian

Misalnya, saat makan siang, Deni lebih memilih makan di warung yang lebih murah meskipun kualitasnya biasa saja, agar pengeluaran hariannya tetap terkontrol.

Misalnya, Aliya lebih memilih membeli barang elektronik bekas yang masih bagus daripada yang baru, karena lebih hemat dan tetap bisa memenuhi kebutuhannya.

Misalnya, Sinta memilih jurusan kuliah yang memiliki prospek kerja tinggi meskipun bukan bidang yang ia minati, karena lebih realistis untuk masa depannya.

Misalnya, saat diskusi dengan teman, Andi memilih mengalah dan tidak melanjutkan perdebatan yang tidak ada ujungnya, karena menurutnya lebih baik menghemat energi daripada memperdebatkan hal kecil yang tidak krusial.

Baca juga: Pengertian, Manfaat, dan Contoh dari Sikap Tenggang Rasa

[html] Pragmatisme merupakan sifat atau ciri seseorang yang cenderung berfikir praktis, sempit dan instant. Orang yang mempunyai sifat pragmatis ini menginginkan segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diharapkan ingin segera tercapai tanpa mau berfikir panjang dan tanpa melalui proses yang lama. Sehingga kadang hasilnya itu meleset dari tujuan awal.

Biasanya sifat ini identik dengan orang yang kurang penyabar dan ambisius. Orang yang ambisius ini selalu melakukan sesuatu atau melakukan perubahan secara cepat. Sehingga tidak heran kalau orang seperti ini mempunyai keinginan yang keras dan tidak mau dikalahkan oleh orang lain. Tapi, sifat ambisius ini cenderung bersifat ke hal yang negatif, mereka melakukan segala macam cara untuk mencapai keinginannya.

Salah satu contoh kecil pragmatisme mahasiswa yang terjadi di universitas adalah ketidakjujuran akademik. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang sangat klasik yang terjadi dalam dunia pendidikan. Misalnya dalam menempuh ujian, banyak sekali mahasiswa yang berlaku curang dalam dalam ujian seperti membuat contekan-contekan, mereka menulis ringkasan pelajaran dalam kertas-kertas kecil.

Apalagi dengan kecanggihan tekhnologi sekarang ini, mahasiswa dengan mudahnya mengakses segala macam informasi yang mereka inginkan dari internet. Dengan membawa sebuah hand phone yang disertai dengan kecanggihan dalam mengakses informasi. Sehingga mereka dengan mudahnya mendapatkan jawaban yang diinginkan tanpa berfikir secara panjang. Hal itu mereka lakukan untuk mendapatkan nilai semaksimal mungkin, minimal tidak D.

Kepraktisan inilah yang menghambat pemikiran mahasiswa untuk mengeksplorasi pemikirannya. Sehingga mereka tidak lagi berfikiran secara kritis ketika menghadapi sebuah masalah. Dunia pendidikan tidak membenarkan hal tersebut tapi hal tersebut sudah mengakar dalam diri mahasiswa.

Sekalipun mahasiswa tersebut sangat pandai pasti sekali atau dua kali tentunya pernah menyontek. Hal ini pernah diutarakan oleh seorang aktivis ketika mengkampanyekan “Anti Korupsi Dimulai Dari Diri Sendiri”. Beliau merupakan salah satu mahasiswa yang tergolong sangat pandai dikalangan universitasnya. Beliau saja sudah mengaku kalau pernah melakukan korupsi dalam ujian, yaitu menyontek. Sehingga tidak dapat dipungkiri kalau dalam jiwa setiap mahasiswa pastinya terdapat sifat pragmatis meskipun presentasinya kecil maupun besar karena pribadi orang itu berbeda-beda.

Sebenarnya pengawasan dosen penguji ketika ujian seakan tidak cukup mengamati lipatan-lipatan kertas yang sengaja di buat oleh mahasiswa untuk meraih nilai maksimal. Mengkopi sumber-sumber dari buku maupun internet merupakan hal yang sudah biasa dilakukan mahasiswa sekarang ini. Sehingga hal tersebut dapat mengurangi kekritisan pemikiran mahasiswa dalam mengeksplorasi masalah yang dihapinya.

Seperti yang diungkapkan oleh Hendra Sugiantoro Universitas Karangmalang Yogyakarta bahwa minimnya perilaku ilmiah tetap tidak bisa digeneralisir pada keseluruhhan mahasiswa. Masih terdapat mahasiswa yang memiliki kesadaran moral organis, sehingga tidak berfikir pragmatis dalam mengumpulkan pundi-pundi prestasi akademiknya. Meskipun demikian, adanya pseudo mahasiswa tidak bisa diingkari dan terkesan bagga mengenakan topengnya. Lebih parah lagi, mahasiswa bertopeng menyelesaikan tugas akhir atau skripsinya melalui “the invisible hand’.

Kondisi mahasiswa yang jauh dari etika akademik ini tidak bisa dilepaskan dari factor eksternal tuntutan indeks prestasi tinggi. Lagi-lagi pengukuran hasil belajar secara kuantitatif tetap menarik untuk diperdebatkan. Mahasiswa mengikuti perkuliahan hanya untuk mengejar nilai minimal tidak D, bahkan mengumpulkan tugas-tugas kuliah asal tepat waktu. Tidak dibantah dan mahasiswa berfikir sama bahwa dosen tidak mungkin memeriksa keseluruhan tugas mahasiswa, akibat kesibukannya yang padat.

Mahasiswa memang mendapatkan nilai untuk tidak mengulang di semester depan, tetapi terdapat kemungkinan menihilkan proses ilmiah, seperti membaca literatur, mengakses informasi dan memahami materi kuliah secara komprehensif.

Disamping itu, mahasiswa juga memiliki "guru virtual". Dalam leksikon Jawa, kata guru diakronimkan dengan ungkapan "digugu lan ditiru". Saat ini televisi relatif dijadikan guru maya mahasiswa.

Hampir minim tayangan televisi yang menengahkan aspek-aspek ilmiah serta menyuguhkan etos belajar dan perjuangan di bangku pendidikan formal. Mahasiswa relatif meniru dan mengikuti pesan dari guru virtualnya yang tak terbantahka memiliki daya pengaruh luar biasa.

Fenomena pragmatisme mahasiswa ini, akhirnya justru membuka peluang bagi tumbuhnya jasa penyusunan skripsi. Mendapatkan rupiah melalui lahan ini cukup prospektif sambil terus meninabobokan budaya instan mahasiswa. Namun, adanya bisnis tersebut justru makin merunyamkan dunia Perguruan Tinggi yang telah tercoreng dengan kebijakan biaya mahalnya.

Diperlukan tindakan tegas untuk memperkarakan secara hukum tukang jasa skripsi agar kredibilitas Perguruan Tinggi dalam mencetak lulusan tetap terjaga. Upaya menghadirkan etika akademik hendaknya terus dilakukan untuk melahirkan lulusan mahasiwa yang memiliki kompetensi ideal. Mahasiswa yang menguasai konsep dan pengetahuan secara luas dan mendalam terkait program studinya serta memiliki akuntabilitas untuk manampilkan unjuk kerja secara profesional di tanah publik. [/html]

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dianut oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.[1] Beberapa ilmuwan yang termasuk pendiri dan penganut teori ini antara lain adalah Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, dan Skinner. Penganut aliran behavioristik berkeyakinan bahwa setiap anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan dan warisan yang bersifat abstrak lainnya. Semuanya itu timbul setelah manusia mengalami kontak dengan alam dan lingkungan sosial budayanya dalam proses pendidikan. Dan menurut mereka, segenap perilaku manusia itu bisa dipelajari dan dibentuk oleh lingkungannya. Maka individu akan menjadi pintar, terampil, dan mempunyai sifat abstrak lainnya tergantung pada apakah dan bagaimana ia belajar dengan lingkungannya.[2]

Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:

(Gage, Berliner, 1984).

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkret, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkret yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon

Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari

, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, tetapi dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

Asas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekadar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, tetapi lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hierarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekadar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekadar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

1. Tidak Mempertanyakan Hal yang Normatif

Bagi pragmatisme, segala pengertian yang mempunyai tendensi untuk menjelaskan semua hal dalam setiap situasi mustahil untuk didapatkan. Pragmatisme menemukan bahwa ada banyak kriteria mengenai kebenaran dan kebaikan.

Dalam epistemologi misalnya, kita menemukan berbagai teori kebenaran seperti koherensi, korespodensi, atau pragmatik.

Pragmatisme disebut juga relativisme radikal karena melawan absolutisme. Artinya tidak taat pada pemerintahan yang tanpa undang-undang dasar.

Para pemikir pragmatisme menolak dualisme. Penolakan mereka berdasarkan asumsi mengenai hakikat realitas sebagai sesuatu yang terus mengalir, bukan yang terpecah-pecah dalam unit-unit, serta pendirian bahwa yang paling utama ialah yang terbukti dalam tindakan.

Secara umum, pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sebuah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan yang nyata, oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif dan tidak mutlak. Namun, ada pendapat yang berbeda mengenai pengertian pragmatisme menurut para ahli berikut ini:

Pragmatisme adalah suatu pemahaman logika untuk membuat sesuatu ide menjadi jelas dan terang sehingga menjadi berarti atau metode untuk menterjemahkan makna dari ide-ide.

Pragmatisme adalah lawan dari idealis yaitu konsep yang lebih mengutamakam untuk menempuh cara atau jalur yang bersifat jangka pendek yaitu melakukan hal-hal yang bersifat praktis dan mengesampingkan sisi ketidakbergunaan

Pragmatisme adalah sebuah konsep kebenaran secara logika pengamatan dengan melihat akibat secara praktis.

Pragmatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Untuk mengukur kebenaran suatu konsep seseorang harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut.

Pragmatisme adalah pondasi untuk mengatasi berbagai macam masalah kehidupan manusia dan yang menentukan kualitas seseorang adalah adanya pendidikan dalam diri manusia tersebut.

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang berasal dari Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Aliran ini menekankan pentingnya pengalaman empiris dan praktik dalam pembentukan pengetahuan, dan memandang konsep dan ide-ide terutama dari sudut pandang fungsional dan praktis mereka. Berikut adalah beberapa pokok-pokok pemikiran dari pragmatisme:

Pragmatisme telah mempengaruhi banyak bidang, termasuk pendidikan, ilmu sosial, dan hukum. Meskipun memiliki banyak variasi dan interpretasi, inti dari pragmatisme adalah fokus pada pengalaman praktis dan adaptasi sebagai kunci untuk memahami dan memandu tindakan manusia.

Organisasi mahasiswa (Ormawa) adalah entitas yang terdiri dari mahasiswa yang bersatu untuk mencapai tujuan bersama, memperjuangkan kepentingan mahasiswa dan mengembangkan potensi anggotanya. Entitas dalam konteks organisasi mahasiswa merujuk pada bidang yang memiliki keberadaan atau peran tertentu dalam struktur organisasi. Contohnya bisa berupa departemen dan kelompok studi yang memiliki fungsi khusus dalam mencapai tujuan ormawa tersebut. Misalnya, Departemen Keorganisasian serta Kelompok Studi Kajian yang merupakan entitas-entitas dalam lingkungan organisasi mahasiswa, yang masing-masing memiliki peran dan tanggung jawabnya sendiri. Idealnya, organisasi mahasiswa menjadi wadah yang mendorong pengembangan kepemimpinan serta bergerak mempromosikan nilai-nilai etika, integritas, dan tanggung jawab sosial kepada seluruh mahasiswa. Pentingnya pengembangan nilai-nilai etika, integritas, dan tanggung jawab dalam organisasi mahasiswa ialah dapat mendorong hubungan yang positif antar anggota serta menumbuhkan karakter yang kuat dalam memimpin sehingga mampu menciptakan profil lulusan yang memiliki kontribusi kreatif dan inovatif yang signifikan.

Namun, pada kenyataannya tidak jarang beberapa organisasi mahasiswa terlibat dalam praktik-praktik yang tidak etis, diantaranya adalah memasukkan nama titipan, pemalsuan data keuangan, atau memanfaatkan kebijakan yang tidak adil untuk mencapai hasil yang diinginkan dengan cara yang paling praktis, serta menjalankan kepemimpinan nepotisme dengan cara memberikan keuntungan atau posisi kepada calon anggota baru atau kepada anggota organisasi yang memiliki hubungan dekat tanpa mempertimbangkan kualitas dan kompetensi. Pada pembahasan ini, penulis tertarik membahas sifat pragmatisme dalam organisasi mahasiswa untuk menyoroti fenomena aktual di mana pendekatan praktis dalam pengambilan keputusan memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika dan aktivitas organisasi mahasiswa pada saat ini.

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang lahir di Amerika pada era 1870, merupakan sifat atau ciri seseorang yang cenderung berpikir praktis dan sempit tanpa memperhatikan pertimbangan etika atau nilai-nilai moral. Seseorang yang mempunyai sifat pragmatis selalu menginginkan hasil yang cepat tanpa melibatkan proses yang lama, meski dalam praktiknya hal ini dapat membuat hasil tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dalam konteks ini, sifat pragmatis dapat menjadi faktor pendorong terhadap praktik tidak etis dalam organisasi mahasiswa ketika tujuan praktis diutamakan di atas nilai-nilai etika dan integritas.

Pada dasarnya, sifat pragmatis tidak dapat dipisahkan dari diri seseorang dan sifat pragmatis juga tidak selalu berkaitan dengan hal-hal negatif, bahkan dapat dijadikan acuan untuk bertindak atau bekerja lebih singkat dan menghemat waktu. Seseorang yang dapat menggunakan sifat pragmatis dengan bijak akan menghasilkan hasil yang lebih baik. Namun, pada saat ini banyak kalangan yang menyalahgunakan sifat pragmatis untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu tanpa berpikir panjang, yang bahkan dapat merugikan orang lain. Salah satu diantaranya adalah praktik-praktik pragmatisme yang berkembang begitu pesatnya di lingkungan organisasi mahasiswa. Contohnya adalah praktik ‘titip’ nama atau menerima nama ‘titipan’ sebelum berlangsungnya pembukaan pendaftaran (Open recruitment). Praktik menerima nama ‘titipan’ yang dilakukan oleh suatu organisasi pasti akan menimbulkan kecurangan dan kerugian dari berbagai pihak, yaitu:

Pembahasan dan penelitian mengenai pragmatisme di lingkungan mahasiswa sudah sangat tidak asing, berbagai pihak sudah mengantisipasi perkembangan sifat pragmatis dalam berbagai tulisannya yang mengacu pada fakta yang terjadi saat ini. Organisasi mahasiswa yang seharusnya digunakan sebagai wadah mahasiswa untuk mengembangkan diri dan mencetak calon-calon pemimpin masa depan harus berhadapan dengan praktik-praktik tidak etis di dalamnya.

Yulianto & Hapsari (dalam Grace Phillandros Violetta & Ika Kristianti, 2023) menyatakan: bahwa terdapat kecurangan berupa penyalahgunaan laporan keuangan yang dilakukan kepanitiaan di Fakultas X pada Universitas ABC. Kecurangan sering terjadi karena sudah menjadi ‘budaya ikut-ikutan’ dan ‘budaya semua bisa diatur’. Kecurangan tersebut sudah terjadi dari mulai tahap perencanaan sampai tahap akhir yaitu pertanggungjawaban. Kasus kecurangan yang dilakukan oleh Lembaga Kemahasiswaan juga terjadi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas “X” yaitu memanipulasi laporan dan penyalahgunaan aset yang sudah sering terjadi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh di atas menyatakan bahwa sifat pragmatisme sudah sangat berkembang dan berseberangan dengan nilai-nilai etika, kejujuran, serta tanggung jawab dalam diri mahasiswa, tidak hanya berkembang tetapi sifat praktis tersebut sudah menjadi budaya yang diikuti semua kalangan, serta sudah menjadi rahasia umum dan semua orang memahami keadaan yang sebenarnya terjadi.

Pesatnya perkembangan sifat pragmatis dalam lingkungan organisasi mahasiswa tidak terlepas dari alasan mendasar terhadap tujuan praktis dan tuntutan lingkungan. Formalitas dalam menjalankan sebuah program organisasi dan menyelesaikan semua tugas serta mencapai target dapat dilihat sebagai strategi untuk menunjukkan efisiensi dan kesuksesan organisasi, bahkan jika harus menggunakan praktik-praktik tidak etis di dalamnya. Dalam konteks ini, menekankan bahwa program berjalan dapat diartikan sebagai upaya untuk memastikan bahwa kegiatan organisasi dapat terus dilaksanakan tanpa hambatan yang berarti. Tuntutan lingkungan yang membenarkan praktik-praktik tidak etis tersebut mendorong perkembangan sifat pragmatis dalam diri mahasiswa.

Tarik menarik antara idealisme dan pragmatisme dalam lingkungan mahasiswa yang sudah terjadi sejak lama menjadikan hal ini menjadi sebuah tantangan yang harus diatasi. Kita semua dihadapkan pada tanggung jawab bersama untuk menghadapi arus besar pragmatis yang sedang merambah dunia pendidikan, terutama bagi kita yang berada di dalam lingkup organisasi mahasiswa. Pentingnya menjaga integritas dan idealisme akademik muncul sebagai tugas utama, ketika merujuk pada organisasi mahasiswa sebagai wadah bagi mahasiswa untuk mempromosikan nilai-nilai etika. Dengan ini, penulis mengajak semua kalangan akademisi untuk meningkatkan nilai-nilai kejujuran di dalam diri masing-masing sebagai suatu keharusan. Karena kepraktisan ini kemudian dapat menghambat pemikiran mahasiswa sehingga tidak lagi berpikir secara kritis ketika menghadapi sebuah masalah, dunia pendidikan dengan tegas tidak membenarkan hal tersebut, tetapi hal tersebut sudah mengakar dalam diri mahasiswa.

Berkembangnya sifat pragmatisme dalam lingkungan organisasi mahasiswa menunjukkan bahwa organisasi tersebut tidak mampu lagi menjaga idealisme oleh karena tuntutan mahasiswa yang terlalu pragmatis. Pragmatisme selalu fokus pada keuntungan segera dan sering mengabaikan aspek kualitas dan dampak jangka panjang, kebijakan atau keputusan ini dapat merugikan masa depan suatu organisasi karena kurangnya perencanaan yang matang. Kita selalu cenderung dengan hasil yang cepat, tetapi lupa mengukur konsekuensi jangka panjang dari pilihan tersebut, penting untuk mencari keseimbangan antara keuntungan saat ini dan investasi untuk masa depan yang berkelanjutan.

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran dari segala sesuatu berdasarkan kepada manfaat yang diberikannya.[1] Sesuatu hal ini dinilai dari kebergunaannya bagi tindakan manusia untuk kehidupannya. Pernyataannya dapat berbentuk ucapan, dalil atau teori. Pragmatisme muncul sebagai tradisi pemikiran yang berasal dari dunia Barat dan berkembang khususnya di benua Amerika. Kehadirannya sebagai suatu pemikiran yang berusaha menjawab persoalan kehidupan manusia.[2] Pragmatisme digolongkan sebagai salah satu aliran filsafat abad ke-19 dalam sejarah filsafat Barat.[3] Pelopor pemikiran pragmatisme adalah seorang filsuf Amerika, Chales Sanders Peirce (1839–1914).[4] Tokoh yang berpengaruh dalam pemikiran pragmatisme antara lain William James (1842–1910) dan John Dewey (1859–1952).[5]

Gagasan mengenai pragmatisme dikemukakan pertama kali oleh Charles Sanders Peirce pada awal periode 1870-an pada pertemuan sebuah kelompok filsafat bernama Metaphysical Club. Pertemuan tersebut diadakan di Cambridge, Massachusetts secara tidak formal. Hasil diskusi dari pertemuan tersebut dituliskan oleh Peirce menjadi dua buah artikel berjudul The Fixation of Belief (1877) dan How to Make Our Ideas Clear (1878). Kedua artikel ini dipublikasikan pada majalah bernama Popular Science Monthly.[6]

Isitilah "pragmatisme" berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata pragma. Kata ini memiliki banyak arti antara lain fakta, benda, materi, sesuatu yang dibuat, kegiatan, tindakan, akibat atau pekerjaan. Dari kumpulan arti tersebut, pragmatisme diberi pengertian sebagai pemikiran yang menguatamakan fungsi gagasan di dalam tindakan. Di sisi lain, istilah "pragmatisme" diperoleh oleh Charles Sanders Peirce dari pemikiran filsafat Immanuel Kant. Di dalam pemikiran Kant terdapat dua kata yang mirip dengan arti yang berbeda, yaitu praktisch dan pragmatisch. Kedua kata ini berasal dari bahasa Yunani yaitu praktikos dan pragmatikos. Istilah praktisch diartikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Jenis tindakan ini tidak ditemukan dalam pengalaman secara nyata, melainkan hanya ada pada akal dan budi. Sedangkan isitlah pragmatisch diartikan sebagai gerak yang dihasilkan oleh kehendak manusia guna memberikan suatu tujuan definitif sebagai tahapan penting untuk menjelaskan pemikiran secara benar.[7]

Pragmatisme menjadi logika terhadap pengamatan sebagai dasar pemikirannya. Pandangan ini menyatakan bahwa kenyataan dari dunia yang terlihat oleh manusia merupakan fakta-fakta yang bersifat nyata, terpisah satu sama lain dan individual. Dunia ditampilkan apa adanya, sehingga perbedaan dapat diterima begitu saja. Perwujudan dari kenyataan selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta umum karena hanya muncul dari pikiran manusia. Fungsi pelayanan dan kegunaan menjadi alat pembenaran suatu gagasan. Pragmatisme tidak membahas kajian filsafat mengenai kebenaran, khususnya yang berkaitan dengan metafisika.[8]

Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang menilai kebenaran dari suatu teori atau kepercayaan berdasarkan tingkat keberhasilan atau manfaatnya dalam penerapan praktis.[9] Persoalan utama bagi pragmatisme ialah mengenai daya guna dari pengetahuan, bukan hakikat dari pengetahuan. Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa pengetahuan merupakan sarana bagi perbuatan.[10] Pragmatisme menyelesaikan permasalahan teoretis maupun praktis dalam kehidupan manusia dengan mengandalkan penggunaan akal budi.[11]

John Dewey adalah salah satu tokoh yang berpengaruh besar dalam pemikiran pragmatisme.[12] Pemikiran pragmatisme yang dikembangkan oleh Dewey dikenal juga sebagai eksperientalisme. Penamaan ini berasal dari pemikirannya yang menyatakan bahwa pertumbuhan manusia merupakan tujuan dari pendidikan. Ia menyebutnya sebagai pertumbuhan karena menganggap segala sesuatu di dunia ini memiliki sifat selalu berubah.[13] Pemikiran pragmatisme John Dewey menjadi salah satu pemikiran yang mempengaruhi dimulainya pendidikan massal.[14]

William James (1842–1910) merupakan salah satu tokoh yang mengkaji mengenai cara manusia dalam mengatasi permasalahan kehidupan berupa industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Tokoh lain yang mengkaji permasalahan yang sama ialah Karl Marx (1818–1883) yang kemudian menjadi pelopor sosialisme. James merupakan penganut relativisme yang menghasilkan pemikiran pragmatisme di kontinen Amerika. Pragmatisme ini diartikan sebagai sebuah kepraktisan dan kegunaan sehingga kriteria dari kebenaran diberikan untuk segala hal yang dapat menjadikan segala sesuatu dapat dikerjakan. James meyakini bahwa manusialah yang menciptakan kebenaran sehingga kebenaran itu berada di dalam diri manusia. Kriteria kebenaran pragmatisme ini memberikan pengaruh bagi dunia bisnis dan politik di Amerika. Pemikiran pragmatisme membuat sosialisme tidak berkembang di Amerika.[15]

Max Scheler mengkritik pragmatisme di dalam karyanya yang berjudul Erkenntnis und Arbeit. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1926. Dalam pandangan Scheler, pragmatisme mencapai kegagalan dalam memikirkan hubungan yang mendalam antara individu manusia dengan individu lainnya. Ini ditandai dengan tidak adanya kajian mengenai transendensi cinta. Ia berpendapat bahwa pragmatisme hanya merupakan metode berpikir yang sepenuhnya berfokus pada keinginan untuk mendominasi alam.[16]

Pragmatisme merupakan pemikiran yang penting bagi pendidikan kejuruan. Dalam pragmatisme, sesuatu dianggap penting berdasarkan tingkat kegunaannya. Pertanyaan utama di dalam pragmatisme adalah mengenai "untuk apa" dan bukan mengenai "apa". Pragmatisme memperhatikan konsekuensi praktis dari suatu tindakan. Dalam pendidikan kejuruan, pragmatisme membagi antara teori dan praktik. Di dalam pengembangan teori, pragmatisme memberikan landasan terhadap etika normatif. Sementara di dalam pengembangan praktis, pragmatisme memenuhi kebutuhan manusia melalui pendidikan kejuruan yang menghasilkan tenaga kerja profesional. Adanya keseimbangan antara teori dan praktis membuat pragmatisme mencegah pendidikan dari tujuan praktis yang hanya bersifat materialisme. Pragmatisme juga mencegah pendidikan dari kehilangan fungsinya sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat.[17]

Pragmatisme merupakan aliran filsafat pendidikan yang mendasari pengembangan aliran filsafat pendidikan lainnya, yaitu progresivisme. Pragmatisme yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952) digunakan dalam pendidikan progresif yang mengutamakan adanya proses, pengalaman dan kegunaan pendidikan secara praktis dalam kehidupan manusia. Progresivisme diterima oleh para praktisi pendidikan yang mengutamakan proses pendidikan melalui tindakan yang bersifat praktis dan mengandalkan percobaan. Pemikiran pragmatisme dan progresivisme yang berkaitan dengan filsafat pendidikan utamanya merupakan pengaruh dari pemikiran John Dewey.[18]

Pragmatisme telah mengubah tujuan politik dari bersifat ideologis menjadi bersifat praktis. Pengaruh pragmatisme di dalam politik terbagi menjadi dua, yaitu pada kaum elite dan masyarakat. Pragmatisme di tingkat masyarakat digunakan sebagai bentuk pemanfaatan situasi atau momen politik untuk perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Gagasan mengenai perbaikan ini disajikan secara instan walaupun dalam artian sebenarnya merupakan sesuatu yang kompleks.[19] Sementara itu, elite partai di dalam partai politik memanfaatkan pragmatisme digunakan untuk mengurangi identitas ideologi partai politik guna mempertahankan oligarki kekuasaannya. Beberapa caranya melalui pengurangan perekrutan anggota dan aksi teror terhadap masyarakat. Salah satu pemanfaatan pragmatisme ini ialah pada pemilihan kepala daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon yang tunggal.[20] Pengaruh pragmatisme di dalam politik menimbulkan ketidakselarasan antara ideologi politik dengan kebijakan politik dari suatu partai politik.[21]

Pragmatisme merupakan salah satu aliran pemikiran yang mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat Barat di Tiongkok pada periode tahun 1900-an. Adanya pengaruh ini terjadi seiring dengan diadakannya penerjemahan karya-karya pemikiran filsafat Barat ke dalam bahasa Mandarin. Pemikiran-pemikiran filsafat Barat membuat aliran pemikiran di Tiongkok mulai cenderung kembali ke tradisi pemikiran pribumi.[22]

KOMPAS.com - Pragmatisme adalah aliran filsafat modern yang lahir di Amerika pada akhir abad 19 hingga awal abad 20.

Dilansir dari buku Pengantar Kependidikan (2023) oleh Nur Wahyumiani, disebutkan bahwa pragmatisme lahir di tengah-tengah situasi sosial Amerika yang dilanda berbagai problem terkait dengan kuat dan masifnya urbanisasi dan industrialisasi.

Berikut pengertian dan contoh sikap pragmatisme dalam kehidupan sehari-hari:

Baca juga: 20 Sikap yang Harus Ditunjukkan Agar Terhindar dari Perilaku Dusta

Pada dasarnya, pengertian pragmatisme adalah sikap hidup, metode, dan filsafat yang digunakan untuk mempertimbangkan nilai kebenaran suatu keyakinan secara praktis.

Dikutip dari buku Dasar-Dasar Filsafat Sebuah Pengantar (2023) oleh Sholihul Huda, dijelaskan pengertian lain dari pragmatisme.

Pragmatisme adalah aliran yang menegaskan bahwa pemikiran manusia menurut pada suatu tindakan.

Dengan kata lain, kebenaran pengetahuan hendaklah dikaitkan dengan manfaat dan sebagai sarana bagi suatu perbuatan.

Kebenaran pengetahuan harusnya dilakukan dengan suatu perbuatan terencana.

Sering kali, orang yang mempunyai sifat pragmatis, suatu perbuatan yang yang dilakukan akan diharapkan langsung tercapai tanpa berpikir dengan tanpa proses waktu tertentu, sehingga hasil dari kebenarannya kadang salah atau meleset.

Baca juga: Sikap Asertif: Pengertian, Contoh, Keuntungan, dan Kategorinya